welcome to blog fajar cerita sejarah jaman dulu : Januari 2014

Pages

Minggu, 05 Januari 2014

mirah,singa betina dari marunda

Pada suatu malam, centeng-centeng di rumah Babah Yong di Kemayoran terkapar di lantai. Babah Yong sendiri terikat di tiang ruang tengah. Perabot rumah berantakan. Barang-barang berharga dibawa kabur kawanan perampok.
Malam itu juga, Tuan Ruys penguasa daerah Kemayoran segera datang mempelajari bekas-bekas perampokan. Di situ juga Nadir Bek Kemayoran. Petugas lain yang ikut sibuk adalah para opas.
“Tangkap Asni!” perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran. Keesokan harinya seorang pemuda yang gagah sudah diborgol dan ditahan di kantor Opas Kemayoran. Bek Kemayoran melaporkan hasil tangkapannya kepada Tuan Ruys.
“Langsung saja masukkan ke penjara, Saeyan!” perintah Tuan Ruys kepada Bek Kemayoran.
Asni keberatan dimasukkan ke penjara. Dia menjelaskan bahwa dia tidak berbuat apa-apa. Malam itu dia di rumah. Dia tidak pergi ke mana-mana. Saksinya juga berkata kalau malam itu Asni di rumah.
Setelah diselidiki dengan teliti, akhirnya Asni dilepas kembali, tidak jadi dimasukkan ke penjara.
Namun, ada syaratnya, yaitu dia harus sanggup menangkap perampok sebenarnya. Kalau tidak berhasil, dia akan dijebloskan kembali ke penjara.
Sementara itu, di Marunda ada seorang gadis remaja cantik bernama Mirah. Ibunya sudah lama meninggal, saat dia berusia tiga tahun. Bapaknya, Bang Bodong, belum mau menikah lagi. Dia selalu teringat istrinya yang tercinta. Oleh karena itu, Bang Bodong sangat menyayangi Mirah. Dia asuh Mirah dengan baik. Mirah dididik dengan penuh kesabaran agar kelak menjadi wanita yang dapat dibanggakan. Anehnya, Mirah lebih suka bermain dengan kawankawan lelaki. Dia senang mendayung sampai ke muara atau berenang tiap hari di Sungai Blencong. Tidak aneh kalau Mirah sering adu renang dari seberang sungai ke seberang lainnya.
Selain itu, Mirah juga tertarik pada ilmu silat. Dia bergabung dengan kawan-kawan lelakinya untuk berlatih silat. Dia bukan saja berbakat, tetapi juga pemberani. Melihat hal itu Bang Bodong melatih sendiri putrinya dengan lebih tekun. Dalam waktu singkat, ketangkasan Mirah sangat mengesankan. Sering dia diadu dengan kawan-kawan lelakinya. Tidak seorang pun sanggup menandingi ketangkasan Mirah. Semua lelaki yang dihadapi dikalahkannya. Mirah sangat disegani dan tidak ada duanya di kampung Marunda.
Bapaknya merasa khawatir terhadap masa depan putrinya. Bagaimanapun Mirah adalah wanita, kelak memerlukan seorang pendamping, seorang pelindung, dan seorang suami. Kalau semua lelaki yang datang selalu ditolak, Mirah nantinya tidak menikah. la akan menjadi perawan tua.
Pada saat itu Asni melakukan penyelidikan ke Marunda. Dia ditegur penjaga gardu.
“Apa siang hari begini harus permisi juga?” tanya Asni.
Penjaga kampung Marunda tersinggung mendengar pertanyaan itu. Asni dipelototi dan segera ditendang. Namun, Asni sudah slap. Tendangan itu membuat penyerangnya hilang keseimbangan dan terjerembab. Kawan yang lain langsung memukul kepala Asni dengan tongkat. Dengan mudahnya Asni menangkap tangan penyerangnya, dipelintir sedemikian rupa hingga orang itu mengaduh kesakitan.
Kedua penjaga kampung itu segera an ke rumah Bang Bodong. Mereka lapor kalau mereka telah diserang seorang perusuh yang mabuk. Kontan Bang Bodong marah-marah. Dia mencari perusuh yang dimaksud. Tanpa banyak tanya Bang Bodong menyerang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Repot juga Asni menangkis. Bang Bodong memang pendekar berpengalaman. Asni harus hati-hati mengambit langkah-langkah mengelak sehingga tidak heran kalau Bang Bodong hanya mendapatkan angin. Asni sigap sekali meloncat, bersalto ke belakang, koprol, dan berguling-guting. Akhirnya, Bang Bodong terengah-engah. Tanpa melakukan serangan balasan Bang Bodong sudah jatuh dengan sendirinya.
Mendengar ayahnya dikalahkan Asni yang jauh Iebih muda itu, Mirah seperti melayang saat lari menyerang ke arah lawan.
Asni justru senang menghadapi pendekar wanita yang mengamuk. Jurus-jurus Mirah sangat berbahaya. Mirah menggunakan tongkat. Hal itu membuat Asni jungkir balik. Elakan disertai tepisan tangan membuat Mirah terlempar ke kolam ikan. Tentu saja Mirah ditelan lumpur, tetapi dia bangkit kembali dengan cepat.
Kemudian, Asni diserang dengan pedang. Entah bagaimana caranya, pedang terlepas dari tangan dan Mirah terlempar ke pohon yang bercabang-cabang. Saat jatuh ke tanah, tubuh Mirah sudah ditangkap Asni. Mirah geram sekali, sementara Asni tersenyum-senyum. Hal itu membuat Mirah makin marah. Untung Bang Bodong mengikuti adu silat itu dengan saksama.
“Jodohmu datang juga akhirnya, Mirah,” kata ayahnya, “kamu harus terima dia sebagai pemenang yang jantan. Kamu tidak boleh ingkar janji. Dia berhak mengambilmu sebagai istri.”
Para pengikut Bang Bodong langsung bersorak. Asni diterima bekas musuhnya sebagai keluarga Baru. Pada saat itulah Asni menceritakan asal usul dirinya. Dia datang ke Marunda untuk mencari kawanan perampok. Dulu perampok itu merampok rumah Babah Yong di Kemayoran. Kalau sampai gagal menangkap kawanan perampok itu, dia akan masuk penjara.
Baik Mirah maupun ayahnya segera tahu siapa yang dimaksud. Tidak lain Tirta dan kelompoknya yang sering berbuat onar. Mereka tinggal di Karawang. Untuk menangkapnya tidak sulit, undang saja Tirta dan kawan-kawannya ke pesta perkawinan yang segera dilaksanakan di kampung Marunda.
Undangan disebar. Pesta dilangsungkan besar-besaran. Tamu-tamu Bang Bodong datang dari berbagai pelosok. Ketika Tirta datang, dia amat kaget bertemu dengan Bek Kemayoran. Ternyata bukan Bek saja yang dijumpai. Tirta juga melihat Tuan Ruys. Kemudian yang membuatnya paling tidak tenteram duduk adalah opas-opas dan para centeng Babah Yong. Mereka seperti sudah mengepung dirinya. Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang dapat dilakukan Tirta kecuali mengeluarkan pistolnya. Dia mengacung-acungkan senjata api itu ke arah Bek Kemayoran dan segera ditembakkan. Letusan itu membuat para tame panik dan bubar. Bang Bodong bermaksud menghalangi Tirta yang ingin menembak lagi. Pistol meletus dan melukai Bang Bodong. Pendekar tua itu terpental dan dadanya berdarah. Dia pingsan tidak sadarkan diri.
Singa Betina Dari MarundaTirta kabur dari tempat pesta itu. Opas-opas mengejarnya. Centeng-centeng ikut mengejar sambil menghunus golok masing-masing. Akan tetapi, dari semua mengejar itu justru Mirah paling cepat. Dia segera tampak berebut pistol derigan Tirta. Setelah beberapa saat berguling-guling di pasir pantai, tiba-tiba letusan pistol menggema. Tirta tampak berwajah pucat sambil merintih kesakitan.
“Pokoknya saya sudah lega dapat berjumpa denganmu, Mirah. Hanya Benda ini yang dapat saya berikan kepadamu,” kata Tirta.
Setelah bungkusan itu dibuka, Mirah melihat pending emas yang indah. Dengan terharu Mirah memperkenalkan Asni yang datang menyusul.
“Ini suami saya, Tirta,” kata Mirah.
Tirta dan Asni bertatapan.
“Kamu adik saya, Asni,” kata Tirta sambil memeluk, “kita satu ayah. Ibu saya dari Karawang, Ibumu dari Banten.”
Tidak lama kemudian Tirta kehabisan darah dan tidak bernapas lagi. Asni dan Mirah amat sedih. Bang Bodong sudah siuman dari pingsannya dan mendapatkan perawatan.
Beberapa minggu kemudian, Asni dan Mirah meninggalkan Marunda. Mereka telah menjadi pasangan suami istri yang berbahagia dan tinggal di Kemayoran sampai tua

CERITA-CERITA

 SAHABAT UNTUK GABUS

“Woy, Bang! Ngapain di situ? Di sini saja! Ikannya lebih banyak!” ajak Bang Kirdun bersemangat.
“Yah saya mah sudah enak nyari di sini!” jawab Bang Hamid dengan seru juga.
Bang Kirdun dan Bang Hamid adalah pencari ikan yang sangat ramai jikalau berada di sekitar empang dan rawa gabus.Mereka tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang mereka cari. Mereka akan terus berusaha dan bersemangat.

Sementara di dalam rawa.
“Ya ampuun … gawat, gawat, gawat!” Ucap seluruh penghuni rawa.
“Kita harus pindah nih!” Ucap seekor udang yang bernama Ebi.
“Wah, betul tuh,ayo ayo!” Ajak seekor sepat yang bernama Sepati.
Akhirnya mereka memutuskan untuk bersembunyi saja di bawah rerumputan rerumputan kangkung yang ada di dalam rawa itu. Tapi perasaan takut masih menyelimuti mereka. Mereka tidak akan rela jika salah satu penduduk atau ikan-ikan di rawa itu terjebak ke dalam tangkapan manusia yang sering berada di rawa itu.
“Teman, kita tidak boleh lagi kehilangan saudara kita lagi!” ucap si Ebi cemas.
“Iya betul, aku setuju!” ucap si Sepati.
“Tapi, kita tidak bisa berbuat apa-apa!Kita hanya bisa menghindar dan bersembunyi. Bagaimana ini?” tanya si Ebi dengan nafas tersenggal-senggal.
“Kamu itu Bi, kamu yang memberi pendapat tapi kamu juga yang bertanya, membuat bingung saja!” ucap Sepati dengan penuh tanda tanya di kepalanya.
Mereka mengetahui, pasti selalu saja ada korban dalam kejadian ini. Mereka sangat membenci manusia, walaupun mereka tidak mengetahui apa alasan manusia menangkap bangsa mereka.
Bang Kirdun dan Bang hamid masing-masing memiliki satu orang istri dan dua orang anak. Mereka hidup dengan kesederhanaan. Mungkin mereka tidak akan bisa makan jikalau Bang kirdun dan Bang Hamid tidak mencari ikan di rawa. Bagi mereka rawa adalah mata pencahariannya yang sangat membantu. Mereka sangat bergantung pada rawa. Hingga mereka tidak pernah patah semangat. Putra Bang Kirdun dan Bang Hamid juga sangat suka membantu mereka mencari ikan. Ikan yang sering mereka dapat adalah ikan gabus, karena bagi mereka rasa ikan gabus setelah di masak itu lezat sekali. Maka dari itu mereka lebih suka menangkap ikan gabus walaupun terkadang itu sangat sulit.
Keesokan harinya di rawa gabus …
“Bi, menurut aku di rawa ini yang lebih sering terkena jebakkan manusia adalah bangsa ikan gabus. Kita seharusnya juga membantu bangsa gabus”, ucap Sepati dengan bijaksana.
“Iya juga sih, betul tuh, oke deh. Mulai sekarang kita harus lebih mengutamakan keselamatan bangsa gabus, kasihan mereka.” ucap Ebi dengan semangat yang berkobar.
Sementara di pinggir rawa…
Seperti biasanya Bang Kirdun dan Bang Hamid pagi-pagi sudah berada di pinggir rawa xgabus. Kali ini mereka menggunakan jaring untuk menangkap ikan dan bukan dengan cara menangkap seperti hari hari kemarin karena mereka sudah mengetahui bahwa cara kemarin tidak bagus lagi.
“Ayo Mid, kita mencari ikan lagi. Dengan cara kali ini pasti kita akan mendapat ikan yang lebih banyak dari pada kemarin!” ajak bang kirdun dengan semangat.
“Ayo! Siapa takut, kita cari ikan sampai habis!” ucap bang hamid dengan gagah.
Bang Hamid dan bang Kirdun melempar jaring mereka ke tengah-tengah rawa.
Di dalam rawa …
“Wah Pat, manusia-manusia itu tidak lagi menggunakan tangan mereka untuk menangkap kita, melainkan menggunakan jaring,lebih gawat dari kemarin!” ucap Udang Ebi dengan cemas.
“Wah, iya tuh Bi, betul. Kita sebaiknya di sini saja, sambil mengawasi jangan sampai ada ikan-ikan yang lewat daerah ini untuk sekarang sekarang!” timpal Ikan Sepati.
Akan tetapi baru saja mereka selesai bicara, ada seekor ikan gabus yang ingin pergi ke ujung rawa, sedangkan di ujung rawa ada Bang Kirdun dan Bang Hamid yang sedang sibuk menggelar jaring sampai ada ikan yang masuk ke dalam jaring itu.
“Jangan, awas!” teriak udang Ebi.
“Hai Gabus, jangan ke arah ujung rawa, bahaya!” ucap Ikan Sepati dengan nafas terengah-engah.
Tapi ikan gabus itu tidak menengok bahkan tidak memberi respon kepada Ebi dan Sepati, ia tetap berenang menuju ujung rawa.
“Awaaaaaaaas!” teriak sepati dan ebi bersamaan, mereka langsung berenang menghampiri si gabus.
“Ayo-ayo Bi, cepat!” ucap sepati.
“Tolong tolong, aku tersangkut!” ucap si gabus dengan rasa takut. Ia langsung teringat akan saudara-saudaranya yang sudah tiada karena tertangkap oleh tangan manusia. Hingga ia tidak sadar bahwa dirinya berada dalam keadaan yang membahayakan dirinnya juga. Tetapi Ebi dan Sepati tetap mendatangi si gabus untuk menolong.
“Ayo cepat, kamu jangan melamun,keadaan kamu dalam bahaya.” Ucap sepati sambil melepaskan ekor gabus dari jebakan jaring.
“Ayo…kita harus cepat, kalau tidak kita semua bisa terperangkap dalam jaring ini.” Ucap Ebi dangan tergesa-gesa.
Hingga Sepati tidak sadar bahwa ekornya juga tersangkut di dalam jaring.
“Aduuuuuh ekorku, kalian berdua pergi duluan saja, jangan sampai kalian kena lagi.” Ucap Sepati dengan ikhlas.
Walaupun Sepati berbicara seperti itu, si gabus dan si udang Ebi tidak akan meninggalkan Sepati. Si Gabus akan lebih merasa bersalah jikalau dirinya terbebas tetapi temannya terperangkap. Sementara itu, Bang Kirdun dan Bang Hamid sudah ingin menarik kembali jaring mereka.
“Bang Hamid, ayo cepat! Keburu ikannya lolos lagi!” ucap Bang Kirdun dengan tegas.
Di dalam rawa…
Si udang Ebi dan si gabus tetap berusaha melepaskan Sepati. Padahal Sepati sudah tertarik-tarik oleh jaring Bang Kirdun dan Bang Hamid. Tetapi mereka harus bisa.
“Ayoooooo…. Ayo tarik tangan ku.” Ucap sepati.
Mereka terus menarik hingga sepati terbebas dari jaring itu.
Rasa bahagia, terharu, senang dan sedih, menyelimuti mereka.
“Ya ya ya, syukurlah, kira semua sudah bebas!” Ucap si udang Ebi.
“Iya ya, senangnyaaa” Ucap Sepati dalam keadaan nafas terengah-engah.
“Oh iya, terimakasih yaaa, kalian sudah menolongku, tanpa kalian mungkin aku sudah menjadi gabus goreng yang lezat di atas sana. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih banyak ya.” Ucap si gabus.
“Iya sama-sama, tanpa bantuan mu, aku juga tidak akan lepas dari jaring tadi.” Ucap Sepati.
“Oh iya,sampai lupa,kita kan belum kenalan.Perkenalkan nama ku gabus.Kalian bisa memanggilku Busi.” Ucap si gabus.
“Busi? lucu juga panggilanmu, oke nama ku Sepati dan ini temanku namanya Ebi.” Ucap Sepati dengan seru.
“Kalian berani ya padahal kalian hanya berdua, saudara atau keluarga kalian kemana?” tanya si Gabusi.
“Keluarga kami sudah tidak ada, itu semua juga karena mereka terjebak dalam tangkapan manusia.” Ucap Sepati dengan sedih.
“Keluargaku juga tidak ada, mereka juga terjebak dalam tangan manusia, karena manusia-manusia itu sangat menyukai ikan gabus. Kalian tahu tidak, rawa ini kan di namakan rawa gabus. Karena sebagaian besar, rawa ini di huni oleh bangsaku.” Cerita Gabusi.
“Oh, seperti itu ya, aku baru tahu.” Ucap si Ebi.
“Aku juga.” Ucap Sepati ikut nimbrung.
Mereka bertiga merasa bahwa mereka memiliki nasib yng sama. Sampai akhirnya Ebi dan Sepati mengajak Gabusi supaya bersama mereka saja. Gabusi merasa bahwa dirinya sangat beruntung.Walaupun saudara dan keluarganya sudah tidak ada.Ia mendapatkan teman baru bahkan sahabat.Karena mereka sudah saling tolong-menolong. Akhirnya Sepati si ikan sepat, Ebi si udang dan Gabusi si ikan gabus bersahabat.Mereka berjanji akan selalu menjaga rawa tempat mereka tinggal.Dan mereka akan selalu siap menolong siapapun ikan yang terjebak oleh perangkap manusia.
Sementara di atas rawa …
Setelah Bang Kirdun dan Bang Hamid menarik kembali jaring mereka. Mereka tidak melihat seekor pun ikan atau udang. Yang mereka dapatkan hanya tanaman kangkung yang hidup di rawa itu.
“Aduuuuuuh bang, kita tidak mendapatkan apa-apa, ada apa ini?” Tanya Bang Kirdun dengan tanda tanya besar.
“Tidak tahu ini, kok tumben ya? Yang kita dapat hanya tanaman kangkung. Apa mungkin ikan-ikan di rawa gabus ini sudah habis oleh kita?” Tanya Bang Hamid.
“Oh iya, bagaimana kalau kita mulai sekarang mencari kangkung saja, yang dengan mudah kita dapatkan!” Usul Bang Kirdun dengan seru.
“Oke boleh, usul bagus tuh!” Ucap Bang Hamid dengan seru juga.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti mencari ikan gabus dan berpindah menjadi pencari kangkung. Yang mungkin dapat mereka jual di pasar. Mereka juga tidak perlu mencari makan, karena kangkung juga bisa di masak. Putra mereka yang sebelumnya juga suka mencari ikan gabus dan dijadikan makanan, mereka pindah menyukai masakan sayur kangkung. Hobi mereka untuk mencari ikan juga terhentikan. Karena menurut mereka ikan gabus di rawa itu sudah tidak ada bahkan sudah habis. Tetapi mereka tetap bahagia dengan apa yang di berikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena hal itu pasti lebih baik dari pada sebelumnya.

cerita bersejarah

 putri bulan

Suatu hari, salah satu teman Hou I menceritakan tentang “Pil Abadi” Hou I langsung mengirim utusannya untuk mendapatkan pil tersebut untuknya dari Ratu Barat.
Sang Ratu tinggal sendirian di atas sebuah gunung yang tinggi. Dia sangat jelek, giginya panjang dan tajam seperti harimau, dia juga memiliki sembilan buah ekor. Dia menghabiskan waktu membuat obat dari rumput, daun dan bunga. Pada awalnya, dia tidak ingin memberikan pil itu pada hamba Hou I. Ketika ia mengatakan siapa tuannya itu, ia menjadi takut. Dia cepat menyerahkan pil tersebut kepadanya.
“Katakan pada majikanmu bahwa pil ini sangat kuat?” Katanya. “Dia tidak boleh memakannya pada saat bulan purnama. Jika dia melakukannya, dia akan terbang langsung ke bulan.”
Hou I sangat senang mendapatkan pil tersebut. Istrinya menyimpannya di sebuah lemari di kamarnya. Suatu malam, saat dia menatap bulan purnama, ia tiba-tiba memutuskan untuk memakan pil tersebut. Tubuhnya terasa menjadi ringan dan injakannya meninggalkan tanah. Dia mulai mengambang di langit menuju bulan.
Ketika suaminya melihat kejadian tersebut, ia mencoba untuk menjatuhkannya dengan busur dan anak panah. Tapi dia sudah terlalu tinggi. Dalam waktu singkat, dia mendarat di bulan. Dia merasa sangat dingin dan kesepian. Dia pun memikirkan suaminya setiap hari dan ingin kembali padanya. Tapi tidak ada jalan bagi dia untuk melakukannya. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah kecil di mana dia tinggal sendirian.


Nabang Si Penunggang Paus

Pada suatu masa saat pulau Andalas dipimpin oleh Sultan Alam, datanglah raja dari Negeri Penyu bernama Si Meulu, menjumpai Sultan Alam, “Sultan Alam yang perkasa, hamba datang ke isatana tuan untuk mengadukan permasalahan yang sedang kami hadapi”, jelas Raja penyu Si Meulu dengan air mata berlinang.
“Wahai Raja Penyu sahabatku sampaikanlah apa yang menyebabkan engkau gelisah dan bersedih“, pinta Sultan Alam.
“Negeri hamba, pulau penyu, sudah tidak aman lagi, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang dan membunuh rakyat hamba, setiap hari ada korban yang jatuh, sebagian rakyat hamba sudah mengungsi kepenjuru dunia karena khawatir akan dimangsa oleh Smong si naga raksasa itu”, jelas Raja Penyu sambil menangis.
Sultan Alam terpukul mendengar penderitaan rakyat dari kerajaan penyu, beliau sangat sedih atas kejadian tersebut. “ Sahabatku, aku akan membantu Kerajaan Penyu mengusir naga Smong tersebut”, janji Sultan Alam dengan suara bergetar.
Tak lama kemudian Sultan Alam mengumpulkan para menteri dan panglima kesultanan Alam dan menceritakan penderitaan Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya di negeri Penyu. Maka berdirilah seorang Panglima Laot dan berkata,” Padukan Sultan Alam Perkasa nan bijaksana, izinkan hamba berbicara”.
“Silahkan Panglima Laot,” Sultan mempersilahkan.
“Sudah banyak laporan dari kapal dagang dan nelayan-nelayan dari Barus bahwasanya mereka melihat makhluk raksasa dari kejauhan saat belayar, makhluk itu bila bergerak menyebabkan gelombang yang tinggi”, Jelas Panglima Laot.
“Bagaimana cara kita mengusir makhluk tersebut Pang Laot?”, Tanya Sultan Alam.
“Hamba sudah berdiskusi dengan laksamana-laksaman angkatan laut kita, mereka semua ngeri mendekati perairan negeri Raja penyu Si Meulu, beberapa nelayan telah melihat banyak penyu melarikan diri dari pulau itu dengan tergesa-gesa”, tambah Panglima Laot.
Tiba-tiba seorang pangeran dari Negeri Barus berdiri, ”Yang Mulia Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, izinkan hamba pangeran dari Barus berbicara mewakili Ayahanda hamba”.
“Silahkan Ananda, putra raja dari negeri Barus”, Sultan mempersilahkan.
“Kalau Paduka berkenan, saya mengenal seorang bocah, putra dari seorang Laksamana di Negeri hamba, ayahandanya telah lama hilang di laut, konon bocah tersebut telah mengelilingi seluruh samudra untuk mencari Ayahandanya namun belum berhasil menemukannya. Dia menguasai lautan lebih dari siapapun, kami menyebutnya Nabang si penunggang paus”, Jelas Pangeran dari Barus.
“Namun hamba tidak tahu dimana keberadaan bocah tersebut saat ini, karena dia hidupnya di laut dan selalu berpindah-pindah”, tambah Pangeran dari Barus.
“Lalu bagaimana kita mengenalinya?”, Tanya Sultan Alam.
“Apabila kita mendengar suara seruling yang sangat merdu namun menyayat hati penuh kesedihan, itu tandanya bocah tersebut ada di sekitar daerah tersebut”, jelas Pangeran dari Barus.
Sultan Alam terkesima mendengar cerita tersebut dan segera setelah pertemuan selesai Sultan memanggil Sahabatnya si Elang Raja.
“Elang Raja terbanglah engkau, carilah seorang bocah bernama Nabang si penunggang paus, saya ingin bertemu dengannya”, perintah Sultan kepada Elang Raja.
Maka terbanglah si Elang Raja menunaikan perintah sang Sultan. Keesokan harinya saat matahari mulai terbit di depan Istana Alam berdiri seorang bocah kurus berperawakan tinggi dengan seruling yang menggelantung di dadanya.
“Hamba diminta menghadap Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja Negeri Andalas”, Jelas seorang bocah tersebut kepada pengawal Istana.
Kemudian pengawal istana membawa bocah tersebut kedalam istana untuk menghadap sang Sultan yang semalaman tidak bisa tidur memikirkan malapetaka yang menimpa sahabatnya raja penyu.
“Engkaukah Nabang si penunggang paus?”, tanya Sultan penasaran.
“Benar tuanku, hamba bernama Nabang yang paduka maksud”, jawab bocah itu.
“Nyanyikanlah sebuah lagu untukku”, pinta Sultan.
“Hamba hanya menyanyikan lagu kesedihan Paduka Tuannku”, tambah Nambang.
“Ya, saya ingin mendengarkannya”, pinta Sultan Alam.
Kemudian bocah tersebut mulai meniup serulingnya, Sultan dan orang-orang di istana yang mendengar alunan seruling tersebut seketika mengalirkan air mata merasakan kesedihan yang mendalam dari alunan seruling tersebut. Setelah selesai mengalunkan sebuah lagu dengan serulingnya bocah tersebut bertanya, ”Tuangku Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, apakah yang paduka inginkan dari hamba sehingga paduka meminta hamba menghadap paduka?”
“Ananda Nabang si penunggang paus, sahabat saya Raja Si Meulu, Raja penyu dari Negeri Penyu, telah datang menceritakan malapetakan yang mereka alami, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang pulau mereka, naga Smong tersebut memangsang penyu-penyu tersebut”, terang Sultan Alam.
Nabang si penunggan paus mendengar dengan seksama.
“Tiada laksamana kesultanan yang berani menghadapinya, saya ingin mengangkat seorang laksaman untuk menghadapi naga Smong tersebut, seorang putra dari laksaman pemberani dari negeri Barus, Nabang si penunggang paus”, Sultan menjelaskan maksudnya.
“Sebuah kapal besar lengkap dengan peralatan perang dan pasukan angkatan laut pilihan sudah kami siapkan untuk Ananda laksamana”, jelas panglima perang kesultanan Alam.
Nabang si penunggang paus masih terkesima tidak terucap sepatah katapun, hingga akhirnya dia tersedar dan berkata, ”Sultan Alam yang perkasa, tiada makhluk yang mampu mengalahkan naga Smong tersebut, hamba tidak perlu kapal dan pasukan karena akan sia-sia, biarlah hamba pergi sendiri menjalankan perintah tuanku”.
Setalah memberi penghormatan kepada Sultan Alam, Nabang si penunggang paus pergi meninggalkan istana menuju pantai sambil meniup seruling dengan alunan kesedihan.
Keesokan harinya terjadilah perkelahian yang dasyat di samudra dekat pula penyu, negerinya Raja penyu Si Meulu, seorang bocah yang menunggangi ikan paus raksasa bertarung melawan naga raksasa. Beberapa kali bocah tersebut terlempar dari punggung ikan paus yang terpukul oleh ekor naga dan juga beberapa kali naga terjerebah ke dasar samudra terkena serudukan ikan paus. Pertarungan yang dasyat tersebut sepertinya akan dimenangkan oleh naga Smong, ikan paus sahabat si Nabang sudah terhuyung-huyuh dan jatuh kedasar samudra sedangkan naga smong terus menyerangnya. Saat melihat sahabatnya jatuh kedalam samudra, si Nabang mengambil serulingnya dan meniupkan alunan sedih, tanpa diduga naga yang mendengar alunan seruling tersebut menjadi tenang dan berhenti menyerang ikan paus dan tak lama kemudian tertidur pulas, setiap seruling itu berhenti mengalun naga Smong tersebut akan terbangun, maka ditiup lagi seruling itu oleh si Nabang. Kemudian ikan paus sahabat si Nabang mendorong naga Smong yang tertidur itu kedasar samudra dan mengurungnya didalam celah didasar samudra.
Keesokan harinya, Elang Raja datang menemui Sultan Alam, “Tuanku Sultan Alam, hamba membawa pesan dari laksamana Nabang si penunggang paus, bahwa dia sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah mengurung Smong si naga raksasa tersebut di dasar samudra,”
Sultan Alam gembira sekali mendengar berita dari Elang Raja.
“Paduka Tuanku, laksaman Nabang si penunggan paus, juga meminta kepada Tuanku Sultan Alam menyampaikan kepada rakyat seluruh negeri Andalas apabila suatu hari nanti naga raksasa tersebut terbangun, dia akan mengamuk sehingga bumi bergoncang kuat maka mintalah rakyat untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, naga Smong akan menghisap air laut hingga surut lalu dia akan menghamburkannya sehingga air laut bergelombang tinggi akan menyapu daratan. Kemudian naga Smong akan tertidur lagi untuk mengumpulkan tenanganya dan akan terbangun lagi untuk menggoyang dasar samudra tempat dia dikurung”, Jelas Elang Raja.
Maka sejak itu Nabang si penunggang paus menetap di pulau penyu bersama Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya, menjaga pulau tersebut dari amukan gelombang raksasa yang sekali-sekali menyerang pulau Si Meulu.
Apabila terjadi gempa besar dan air laut surut maka orang-orang dipulau Simeulu akan berteriak SMONG!, SMONG!, SMONG!, untuk mengingatkan orang-orang akan datangnya gelombang tinggi dari laut (tsunami).